Kamis, 24 Oktober 2013

Tatajafa junubuhum 'anil madhoji', Lambung mereka tidak bersahabat dengan tempat tidur.

Anis Matta Instruksikan Kader PKS Sedikit Tidur

Diposkan oleh Admin BeDa pada Jumat, 01 Februari 2013 | 23.00 WIB


Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Anis Matta mengatakan dalam pidato perdananya, Jum'at (1/2), hari-hari ini adalah hari-hari sulit bagi PKS. Tetapi, ia juga menyebutkan bahwa PKS bisa melalui hari-hari sulit itu asalkan memenuhi tiga syarat utama.

"Yang pertama adalah, memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala," kata Anis Matta di kantor DPP PKS, Jl TB Simatupang, Jakarta Selatan, Jumat (1/2) siang.

"Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in" Anis Matta mengulang kalimat itu tujuh kali, disambut takbir pengurus PKS yang hadir.

Syarat kedua menurut Anis Matta adalah kebersamaan. "Ukhuwah, persaudaraan, soliditas, itu yang harus kita jaga."

"Kita bisa melalui ini kalau kita bergandengan tangan, kalau kita saling bersatu, kalau kita menyatukan diri kita semuanya atas nama cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan cinta kepada negeri kita Indonesia."

Syarat ketiga, lanjut Anis Matta, adalah kerja keras. "Hari ini saya ingin mengatakan kepada antum semua, hari ini berlaku ayat Allah Subhanahu wa Ta'ala 'Tatajafa junubuhum 'anil madhoji', Lambung mereka tidak bersahabat dengan tempat tidur. Tidak ada lagi waktu tidur sejak hari ini, saudara-saudara sekalian. Kita akan memulai hari ini, insya Allah, sebagai momentum kebangkitan kita semuanya," tegas Anis Matta. [IK/Rpb/bsb]

Selasa, 22 Oktober 2013

Sosok Ustadz H. M. Anis Matta, Lc



Sosok Ustadz H. M. Anis Matta, Lc


Presiden PKS, Anis Matta. (inet)
Presiden PKS, Anis Matta. (inet)
dakwatuna.com - “Pahlawan Muda…di tangan merekalah, Indonesia akan mengambil gilirannya, bukan hanya dalam mensejahterakan negerinya, tapi juga dalam memimpin dunia yang mulai terseok-seok!”, kalimat itu ia teriakan ditengah ribuan pendengar. Semua sepi, semua hening, dan nafas-nafas tertahankan di dada hanya untuk mendengarkan setiap butir kata, yang ia ucapkan penuh makna. Kata-katanya menjadi inspirasi, menyentuh pribadi, bagi trainer, bagi guru, bagi penceramah, dan bagi seluruh pemuda di penjuru negeri dengan semangat berapi-api.
Dia adalah H. Muhammad Anis Matta, Lc. Masa mudanya tak ia habiskan berhura-hura, namun penuh gelora berjuang dan membaca. Prestasi SD nya jelek tak seberapa, tapi di Pesantren (Darul Arqam) Gombara, posisinya kukuh tak bergeser dari kursi juara, dari tahun 80 hingga 86.
Organisasi dikenalnya sejak kecil, dan kelas satu SMA sudah bukan lagi anggota biasa, tapi sudah mampu menjadi instruktur IPM lalu kelas dua menjadi sekretaris cabang Muhammadiyyah. Namun tumpukan prestasi masa muda tak membuat ia berbangga. Ia rasakan kepedihan batin, keresahan membuncah-buncah, juga panggilan nurani untuk tak henti mengasah diri. LIPIA Jakartalah jamuan sejarah baginya walau kesempatan kuliah di Fikom UNHAS juga terbuka.
Ia lahap dua belas jam sehari buku-bukunya saat liburan, dan lima jam di luar diktat saat masa kuliahan. Bahkan dosen LIPIA nya berkata “jika saja ada nilai lebih dari mumtaz, Anis Matta pasti kan mampu melibas“, maka dari itu tak pernah sekalipun ia terkalahkan sebagai orang tercerdas juga tergigih, dalam nilai kuliah akhir ataupun ratusan buku mutakhir, dari Psikologi terapan, teori-teori belajar, pengembangan diri, konsep-konsep Politik, negara, pergerakan, bisnis, dan sastra-sastra tingkat dunia.
Setuntasnya dari kuliah, ia menumpahkan semangat mudanya dalam pergerakan. Membina dan berorganisasi, berceramah dan menulis, hingga tahun 1998 dipercaya menjadi Sekretaris Jendral Partai Keadilan (PK), dan usianya barulah 30 tahun. Kinerja dan karya nyatanya ia sempurnakan dengan gilang-gemilang, sampai-sampai tahun 2000 ia berkesempatan mengikuti program American Young Council for Young Politician Leader (ACYPL) di Amerika. Tak kurang bergengsinya, setelah ia menamatkan Kursus Singkat Angkatan (KSA) Lemhanas, ia kemudian menjadi instukturnya, tak kepalang tanggung, jendral-jendral ia latih disana.
Sekarang ia berjuang dalam posisinya sebagai wakil ketua DPR RI. Dan tetap dipercaya sebagai sekretaris jenderal PKS, sehingga ada anekdot ‘siapapun presiden PKS, sekjennya Anis Matta’. Bakat masa kecilnya sebetulnya cerpen dan puisi. Keduanya lalu tenggelam dan terkubur beberapa lama, tapi kembali menyeruak di masa-masa kini, membuat tulisan-tulisan ilmiahnya kuat, berisi, dan sastrawi. “cerdas bermetafora, puitis disini sana” Taufiq Ismail Sang Penyair mengomentari, juga fasihun, balighun, muatsirun finnafs sesuai balaghoh sejati. Semua keindahan tulisan, dan kejelian analisis itu terkumpul dalam ‘Konsep Seni dalam Islam‘ (1995), ‘Wawasan Islam dan Ekonomi’ (1997), ‘Sepanjang Hari Bersama Allah: Seni Berdo’a’ (1997), ‘Biar kuncupnya mekar menjadi bunga’ (2000), ‘Membangun karakter muslim’ (2002), ‘Model Manusia Muslim Abad 21′ (2002), ‘Menikmati Demokrasi’ (2003), ‘Dari Gerakan ke Negara’ (2006), ‘Serial Cinta’ (2006). Dan gaya tulisannya bisa dikatakan bermuatan berat seberat Malik bin Nabi namun indah seindah Mustafa Sadek Arrafi’i.
Ia pernah beberapa kali menjadi penerjemah khusus jika Syaikh Yusuf Qardawi berkunjung ke Indonesia. Dan ketika Yusuf Qardawi, dalam sebuah ceramah, mempersilakan Anis Matta untuk menterjemahkan kata-katanya setiap sepuluh menit, dengan percaya diri Anis Matta mempersilakan Yusuf Qardawi melanjutkan ceramahnya, dan ia terjemahkan setelahnya ke dalam bahasa Indonesia sepanjang aslinya, hebatnya lagi dengan terjemahan tekstual, bukan tafsiran.
Anis sering didaulat mengisi bermacam ceramah, seminar, taushiah, di berbagai komunitas: komunitas remaja, orang kantoran, pejabat, aktivis, mahasiswa, ibu-ibu, juga kalangan jet set yang jika ditawari ‘amplop’ ceramah puluhan juta, ditolaknya dengan halus, karena selain ia ingin menyebar nilai Islam di berbagai lapisan masyarakat, ia ingin pula membangun persahabatan dengan beragam lapisan itu tanpa imbalan. Ia tak hanya berda’wah di dalam negeri, suaranya melengking hingga menembus negara-negara asing, benua Amerika, puluhan negara Eropa, jepang, Australia, dan negera-negara Timur Tengah tentunya. Sehingga ia mengokohkan dirinya sebagai seorang da’i, pemikir muslim, ilmuan, berlevel internasional, ini dari satu sisi.
Sedang dari sisi lain, ia sedang tumbuh menjadi negarawan baru bangsa. Ceramahnya yang dulu bertempo lambat, sering terbata-bata dan salah kata, telah ditambal dan di sulam. Ia sekarang mampu beretorika dalam debat-debat nasional, dengan argumen logis, sistematis, puitis, dan berbekal data-data empiris. Sehingga misalnya dalam dialog-dialog besar yang menghadirkan para doktor politik dan sosial, aura mereka tenggelam dalam bangunan keilmuan Anis yang tinggi menjulang, luas membentang, hanya bermodalkan Lc pula. Ia adalah satu-satunya debator yang ditakuti Ulil Abshar Abdalla Sang Kordinator JIL yang kesohor itu, sehingga ia ciut tidak berani menghadapi Anis dalam debat publik.
Lebih jauh lagi, Anis telah mengembangkan kemampuan baru retorikanya: orasi. Walau belum lagi sempurna, namun ia sedang berjalan memenuhi kualifikasi seorang negarawan yang dibutuhkan Indonesia sebagaimana dalam tulisannya, ‘bukan karena kita menang pemilu saja maka kita memimpin’ , ia melihat bahwa basic competent seorang pemimpin negara adalah Narrative Intelligent, yang terwujud dalam orasi dan tulisan yang tajam. Sehingga Anis berkukuh bahwa seorang pemimpin besar haruslah orator ulung dan penulis yang memukau, mutlak, jika tidak, ia tidak akan abadi. Dan ketika ditanyakan bangunan pengetahuan yang dibutuhkan untuk menjadi seorang negarawan, ia mengurutkan “…sejarah, sastra, dan kebudayaan, baru ke Psikologi, Sosiologi, Ekonomi, Hukum, dan ilmu politik. Selain itu basis bahasa dan ilmu komunikasi, negarawan adalah pemikir strategis dan pelaku kepemimpinan, designing and leading“. Dan Anis dalam perjalanan mencapainya, di usianya yang baru akan mencapai 44 tahun pada 7 Desember nanti.
Gagasan-gagasan iklan PKS Anis, dikenal kontroversial, namun seorang pakar hipnotis asal Bandung, Muhammad Isman Richmarch Hakim, mengatakan bahwa iklan-iklan itu justru iklan Politik tercerdas yang pernah ada karena selain muatannya berisi pesan bijak kepahlawanan, juga karena sekali-dua kali beriklan saja namun meraup simpati massa meruah-ruah tak terkira, sebuah tambahan lagi bagi prestasinya, karena ialah sang panglima TPPN (Tim Pemenangan Pemilu Nasional) PKS saat pemilu 2009.
Bagi Anis, “..kerja belum selesai, belum apa-apa” sebagaimana syair Chairil yang dikutipnya di tulisan ‘O, Pahlawan Negeriku ‘, ia berkeyakinan bahwa orang besar adalah orang yang berorientasi pada kerja-kerja besar, cita-cita besar dan melupakan semua kerja-kerja kecil yang pernah diraih. Orang besar diukur oleh kontribusi pada kemanusiaan, sehingga ia pernah berseru-seru dalam puisinya agungnya, Nyanyian Pahlawan, “Katakan padaku wahai hari, apa yang dapat kuberikan pada sejarah hari ini, katakan padaku wahai malam, berapa bintang kau perlukan untuk menerangi langitmu“. Sehingga wajar saja bagi PKS yang meyakini kesepakatan tak tertulis bahwa jika ada agenda-agenda raksasa partai yang mustahil, serahkan saja pada Anis Matta.
Dan standar cita-cita bagi Anis, ketika saatnya PKS memimpin dan membangun negara Indonesia, semua itu bukanlah akhir, tapi awal sebuah peradaban dunia. Sehingga yang tersisa adalah ungkapan pemikir Syiria, Syakib Arslan ‘Ma a’dzama hadza diin lau kana lahu rijal ‘ (alangkah besar agama ini kalau saja ia memiliki tokoh-tokoh besar). Lelaki itu telah ada, dan telah lahir. Sudah meraup bermacam ilmu serta berkeras tekad sejak dahulu. Indonesia sedang menunggunya naik gelanggang. Indonesia sedang menyaksikan seorang anak kampung Bone Sulawesi Selatan tumbuh untuk mengguncang bangsa. Dimana dia berada? Anak kampung itu melantangkan lagi puisinya “Wahai Umat wahai bangsa, Aku selalu ada disini, saat darah saat air mata, Aku datang mengantar umat, pada gerbang sejarah baru”.

 Redaktur: Samin Barkah
Topik: 
Keyword: 

Beri Nilai Naskah Ini:

Nilai 1Nilai 2Nilai 3Nilai 4Nilai 5Nilai 6Nilai 7Nilai 8Nilai 9Nilai 10 (64 orang menilai, rata-rata: 9,84 dalam skala 10)


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2013/02/01/27501/sosok-muh-anis-matta/#ixzz2iUfrh4Yz 
Follow us: @dakwatuna on Twitter | dakwatunacom on Facebook

Minggu, 20 Oktober 2013

Kematian Hati

Kematian Hati

                                                     Oleh : (alm) Ust. Rahmat Abdullah

Banyak orang tertawa tanpa (mau) menyadari sang maut sedang mengintainya.

Banyak orang cepat datang ke shaf shalat layaknya orang yang amat merindukan kekasih. Sayang ternyata ia datang tergesa-gesa hanya agar dapat segera pergi.

Seperti penagih hutang yang kejam ia perlakukan Tuhannya. Ada yang datang sekedar memenuhi tugas rutin mesin agama. Dingin, kering dan hampa, tanpa penghayatan. Hilang tak dicari, ada tak disyukuri.

Dari jahil engkau disuruh berilmu dan tak ada idzin untuk berhenti hanya pada ilmu. Engkau dituntut beramal dengan ilmu yang ALLAH berikan. Tanpa itu alangkah besar kemurkaan ALLAH atasmu.

Tersanjungkah engkau yang pandai bercakap tentang keheningan senyap ditingkah rintih istighfar, kecupak air wudlu di dingin malam, lapar perut karena shiam atau kedalaman munajat dalam rakaat-rakaat panjang.

Tersanjungkah engkau dengan licin lidahmu bertutur, sementara dalam hatimu tak ada apa-apa. Kau kunyah mitos pemberian masyarakat dan sangka baik orang-orang berhati jernih, bahwa engkau adalah seorang saleh, alim, abid lagi mujahid, lalu puas meyakini itu tanpa rasa ngeri.

Asshiddiq Abu Bakar Ra. selalu gemetar saat dipuji orang. “Ya ALLAH, jadikan diriku lebih baik daripada sangkaan mereka, janganlah Engkau hukum aku karena ucapan mereka dan ampunilah daku lantaran ketidaktahuan mereka”, ucapnya lirih.

Ada orang bekerja keras dengan mengorbankan begitu banyak harta dan dana, lalu ia lupakan semua itu dan tak pernah mengenangnya lagi. Ada orang beramal besar dan selalu mengingat-ingatnya, bahkan sebagian menyebut-nyebutnya. Ada orang beramal sedikit dan mengklaim amalnya sangat banyak. Dan ada orang yang sama sekali tak pernah beramal, lalu merasa banyak amal dan menyalahkan orang yang beramal, karena kekurangan atau ketidaksesuaian amal mereka dengan lamunan pribadinya, atau tidak mau kalah dan tertinggal di belakang para pejuang. Mereka telah menukar kerja dengan kata.

Dimana kau letakkan dirimu?
Saat kecil, engkau begitu takut gelap, suara dan segala yang asing. Begitu kerap engkau bergetar dan takut.

Sesudah pengalaman dan ilmu makin bertambah, engkaupun berani tampil di depan seorang kaisar tanpa rasa gentar. Semua sudah jadi biasa, tanpa rasa.
Telah berapa hari engkau hidup dalam lumpur yang membunuh hatimu sehingga getarannya tak terasa lagi saat ma’siat menggodamu dan engkau meni’matinya?

Malam-malam berharga berlalu tanpa satu rakaatpun kau kerjakan. Usia berkurang banyak tanpa jenjang kedewasaan ruhani meninggi. Rasa malu kepada ALLAH, dimana kau kubur dia ?

Di luar sana rasa malu tak punya harga. Mereka jual diri secara terbuka lewat layar kaca, sampul majalah atau bahkan melalui penawaran langsung. Ini potret negerimu : 228.000 remaja mengidap putau. Dari 1500 responden usia SMP & SMU, 25 % mengaku telah berzina dan hampir separohnya setuju remaja berhubungan seks di luar nikah asal jangan dengan perkosaan. Mungkin engkau mulai berfikir “Jamaklah, bila aku main mata dengan aktifis perempuan bila engkau laki-laki atau sebaliknya di celah-celah rapat atau berdialog dalam jarak sangat dekat atau bertelepon dengan menambah waktu yang tak kauperlukan sekedar melepas kejenuhan dengan canda jarak jauh” Betapa jamaknya ‘dosa kecil’ itu dalam hatimu.

Kemana getarannya yang gelisah dan terluka dulu, saat “TV Thaghut” menyiarkan segala “kesombongan jahiliyah dan maksiat”?

Saat engkau muntah melihat laki-laki (banci) berpakaian perempuan, karena kau sangat mendukung ustadzmu yang mengatakan ” Jika ALLAH melaknat laki-laki berbusana perempuan dan perempuan berpakaian laki-laki, apa tertawa riang menonton akting mereka tidak dilaknat ?”

Ataukah taqwa berlaku saat berkumpul bersama, lalu yang berteriak paling lantang “Ini tidak islami” berarti ia paling islami, sesudah itu urusan tinggallah antara engkau dengan dirimu, tak ada ALLAH disana?

Sekarang kau telah jadi kader hebat.
Tidak lagi malu-malu tampil.

Justeru engkau akan dihadang tantangan: sangat malu untuk menahan tanganmu dari jabatan tangan lembut lawan jenismu yang muda dan segar. Hati yang berbunga-bunga didepan ribuan massa.

Semua gerak harus ditakar dan jadilah pertimbanganmu tergadai pada kesukaan atau kebencian orang, walaupun harus mengorbankan nilai terbaik yang kau miliki. Lupakah engkau, jika bidikanmu ke sasaran tembak meleset 1 milimeter, maka pada jarak 300 meter dia tidak melenceng 1 milimeter lagi ? Begitu jauhnya inhiraf di kalangan awam, sedikit banyak karena para elitenya telah salah melangkah lebih dulu.

Siapa yang mau menghormati ummat yang “kiayi”nya membayar beberapa ratus ribu kepada seorang perempuan yang beberapa menit sebelumnya ia setubuhi di sebuah kamar hotel berbintang, lalu dengan enteng mengatakan “Itu maharku, ALLAH waliku dan malaikat itu saksiku” dan sesudah itu segalanya selesai, berlalu tanpa rasa bersalah?

Siapa yang akan memandang ummat yang da’inya berpose lekat dengan seorang perempuan muda artis penyanyi lalu mengatakan “Ini anakku, karena kedudukan guru dalam Islam adalah ayah, bahkan lebih dekat daripada ayah kandung dan ayah mertua” Akankah engkau juga menambah barisan kebingungan ummat lalu mendaftar diri sebagai ‘alimullisan (alim di lidah)? Apa kau fikir sesudah semua kedangkalan ini kau masih aman dari kemungkinan jatuh ke lembah yang sama?

Apa beda seorang remaja yang menzinai teman sekolahnya dengan seorang alim yang merayu rekan perempuan dalam aktifitas da’wahnya? Akankah kau andalkan penghormatan masyarakat awam karena statusmu lalu kau serang maksiat mereka yang semakin tersudut oleh retorikamu yang menyihir ? Bila demikian, koruptor macam apa engkau ini? Pernah kau lihat sepasang mami dan papi dengan anak remaja mereka.

Tengoklah langkah mereka di mal. Betapa besar sumbangan mereka kepada modernisasi dengan banyak-banyak mengkonsumsi produk junk food, semata-mata karena nuansa “westernnya” . Engkau akan menjadi faqih pendebat yang tangguh saat engkau tenggak minuman halal itu, dengan perasaan “lihatlah, betapa Amerikanya aku”.

Memang, soalnya bukan Amerika atau bukan Amerika, melainkan apakah engkau punya harga diri.

Mahatma Ghandi memimpin perjuangan dengan memakai tenunan bangsa sendiri atau terompah lokal yang tak bermerk. Namun setiap ia menoleh ke kanan, maka 300 juta rakyat India menoleh ke kanan. Bila ia tidur di rel kereta api, maka 300 juta rakyat India akan ikut tidur disana.

Kini datang “pemimpin” ummat, ingin mengatrol harga diri dan gengsi ummat dengan pameran mobil, rumah mewah, “toko emas berjalan” dan segudang asesori. Saat fatwa digenderangkan, telinga ummat telah tuli oleh dentam berita tentang hiruk pikuk pesta dunia yang engkau ikut mabuk disana. “Engkau adalah penyanyi bayaranku dengan uang yang kukumpulkan susah payah. Bila aku bosan aku bisa panggil penyanyi lain yang kicaunya lebih memenuhi seleraku”
Sumber: http://www.pkspiyungan.org

Tunjuki aku pada jalan yang telah engkau tempuh Abi, tunjukkan aku pada jalan itu

“Tunjuki aku pada jalan yang telah engkau tempuh Abi, tunjukkan aku pada jalan itu”
15 Februari 2011 pukul 23:56


Suatu sore, ditahun 1525...

Penjara terasa hening mencekam, penuh berisi orang-orang yang menolak menjadiMorisko(1). Jendral Adolf Roberto, pemimpin penjara yang terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan.
Setiap pegawai penjara membungkukkan badannya rendah-rendah ketika 'algojo penjara' itu berlalu di hadapan mereka. Karena kalau tidak, sepatu lars milik tuan Roberto itu niscaya akan mendarat di wajah mereka. Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar seseorang mengumandangkan suara-suara yang amat ia benci.

Hai, hentikan suara jelekmu! Hentikan!” teriak Roberto sekeras-kerasnya sembari membelalakan mata.
Namun apa yang terjadi?
Laki-laki di kamar tahanan tadi tetap saja bersenandung dengan khusyu'nya. Roberto bertambah berang. Algojo penjara itu menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak lebih sekadar cukup untuk satu orang. Dengan congkaknya ia menyemburkan ludahnya ke wajah renta sang tahanan yang keriput hanya tinggal tulang. Tak puas sampai disitu, ia lalu menyulut wajah badan orang tua renta itu dengan rokoknya yang menyala.

Sungguh ajaib, tak terdengar secuilpun keluh kesakitan. Bibir yang pucat kering milik sang tahanan hanya mengeluarkan kata: “Rabbi, wa ana 'abduka. Laa hawla walaa quwwata illaa billaah.” (Ya ALLAH, aku adalah hambamu. Tiada daya dan upaya [kuasa dan kekuatan] melainkan atas [kehendak] izin ALLAH).
Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir sambil berkata, “Bersabarlah wahai Ustadz, insya ALLAH tempatmu filjannah.”

Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil Ustadz oleh sesama tahanan, algojo penjara itu bertambah memuncak amarahnya. Ia memerintahkan pegawai penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu keras-keras hingga terjerembab di lantai.

Hai orang tua busuk! Bukankah engkau tahu, aku tidak suka bahasa jelekmu itu?!Aku tidak suka apa-apa yang berhubung dengan agamamu! Kau telah membuat aku benci dan geram dengan 'suara-suara' yang seharusnya tak pernah terdengar lagi di sini. Ketahuilah orang tua dungu, bumi Spanyol ini kini telah berada dalam kekuasaan Gereja Katolik Roma. Sebagai balasannya engkau akan kubunuh.Kecuali, kalau engkau mau minta maaf dan menjadi Morisko.”

Mendengar 'khutbah' itu, orang tua itu mendongakkan kepala, menatap Roberto dengan tatapan tajam dan dingin.
Ia lalu berucap: “Sungguh, aku sangat merindukan kematian agar aku segera dapat menjumpai kekasihku yang amat kucintai, ALLAH. Bila kini aku berada di puncak kebahagiaan karena akan segera menemui-NYA, patutkah aku berlutut kepadamu,hai manusia busuk? Jika aku turuti kemauanmu, tentu aku termasuk manusia yang amat bodoh.”

Baru saja kata-kata itu terhenti, sepatu lars Roberto sudah mendarat di wajahnya. Laki-laki itu terhuyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah bersimbah darah. Ketika itu dari saku baju penjaranya yang telah lusuh, meluncur sebuah 'buku kecil'. Adolf Roberto bermaksud memungutnya. Namun tangan sang Ustadz telah terlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat-erat.

Berikan buku itu, hai laki-laki dungu!” bentak Roberto.

Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini!” ucap sang Ustadz dengan tatapan menghina pada Roberto.

Tak ada jalan lain, akhirnya sepatu lars Roberto yang berbobot 2 kilogram itu menginjak jari-jari tangan sang Ustadz yang telah lemah. Suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati. Roberto memungut buku kecil yang membuatnya penasaran. Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah lusuh.
Mendadak algojo itu termenung.

Ah, sepertinya aku pernah mengenal buku ini. Tetapi kapan? Ya, aku pernah mengenal buku ini,” suara hati Roberto bertanya-tanya.
Perlahan Roberto membuka lembaran pertama itu. Pemuda berumur 30 tahun itu bertambah terkejut tatkala melihat tulisan-tulisan 'aneh' dalam buku itu. Rasanya ia pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Spanyol.

Akhirnya Roberto duduk disamping sang Ustadz yang telah melepas nafas-nafas terakhirnya. Mata Roberto rapat terpejam. Ia berusaha keras mengingat peristiwa yang dialaminya sewaktu masih kanak-kanak. Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto. Pemuda itu teringat ketika suatu sore di masa kanak-kanaknya terjadi kericuhan besar di negeri tempat kelahirannya ini.

****
Sore itu ia melihat peristiwa yang mengerikan di lapangan Inkuisisi(2).

Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa berjatuhan di bumi Andalusia. Di hujung kiri lapangan, beberapa puluh perempuam berhijab digantung pada tiang-tiang kayu sula(3) yang terpancang tinggi. Tubuh mereka bergelantungan tertiup angin sore yang kencang, membuat pakaian Muslimah yang dikenakan berkibar-kibar di udara. Sementara, di tengah lapangan ratusan pemuda Islam dan Yahudi dibakar hidup-hidup pada tiang-tiang kayu sula, hanya karena tidak mau memasuki agama yang dibawa oleh para rahib, tidak mau jadi Morisko dan Morrano.

Seorang bocah, mungil tampan berumur sekitar 5 tahun, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang telah senyap. Korban-korban kebiadaban yang menolak menjadi Morisko itu telah syahid semua. Bocah mungil itu mencucurkan air matanya menatap sang Ibu yang terkulai lemah di tiang gantungan. Perlahan-lahan bocah itu mendekati tubuh sang Ummi yang sudah syahidah.
Sang bocah berkata dengan suara parau, “Ummi, Ummi,mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah Ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa? Ummi, cepat pulang ke rumah, Ummi.”
Bocah kecil itu akhirnya menangis keras, ketika sang Ummi tidak menjawab ucapannya. Ia semakin bingung dan takut, tak tahu harus berbuat apa. Untuk pulang ke rumah pun ia tak tahu arah.
Akhirnya bocah itu berteriak memanggil bapaknya, “Abi, Abi, Abi.....”
Namun ia segera terhenti berteriak memanggil sang bapak ketika teringat kemarin petang bapaknya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.

Hai, siapa kamu?!” teriak segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati sang bocah.

Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi,” jawab sang bocah memohon belas kasihan.

Tiba-tiba 'plak!', sebuah tamparan mendarat di pipi sang bocah.
Hai bocah, wajahmu bagus tetapi namamu jelek. Aku benci namamu. Sekarang kuganti namamu dengan nama yang bagus. Namamu sekarang Adolf Roberto.Awas!! Jangan kau sebut lagi namamu yang jelek itu. Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!” ancam laki-laki itu.

Sang bocah meringis ketakutan, masih tetap meneteskan air mata. Bocah mungil itu hanya menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar lapangan Inkuisisi.
Akhirnya bocah tampan itu hidup bersama mereka.

****
Roberto sadar dari renungannya yang panjang. Pemuda itu melompat ke arah sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang melekat pada tubuh sang Ustadz. Ia mencari-cari sesuatu di pusar laki-laki itu.
Ketika ia menemukan sebuah 'tanda hitam', ia berteriak histeris.
Abi, Abi, Abi.....!” Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu. Pikirannya terus bergelut dengan masa lalunya.
Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil yang ada di dalam genggamannya adalah Kitab Suci Al-Qur’an milik ayahnya, yang dahulu sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya. Ia juga ingat betul ayahnya mempunyai 'tanda hitam' pada bahagian pusar.

Pemuda beringas itu terus meraung dan memeluk erat tubuh tua renta yang lemah itu. Tampak sekali ada penyesalan yang amat dalam atas ulahnya selama ini. Lidahnya yang sudah berpuluh-puluh tahun alpa akan Islam.
Saat itu dengan spontan menyebut: “Abi, aku masih ingat alif, ba, ta, tsa,” hanya sebatas kata itu yang masih terekam dalam kulit otaknya.
Sang Ustadz segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang membasahi wajahnya. Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat seseorang yang tadi menyiksanya habis-habisan kini tengah memeluknya.

Tunjuki aku pada jalan yang telah engkau tempuh Abi, tunjukkan aku pada jalan itu,” terdengar suara Roberto memelas.

Sang Ustadz tengah mengatur nafas untuk berkata-kata, ia lalu memejamkan matanya. Air matanya pun turut berlinang. Betapa tidak, jika sekian puluh tahun kemudian, ternyata ia masih sempat berjumpa dengan buah hatinya, ditempat ini. Sungguh tak masuk akal. Ini semata-mata bukti kebesaran ALLAH Subhaanahu wa Ta’ala.
Sang Abi dengan susah payah masih bisa berucap, “Anakku, pergilah engkau ke Mesir.Disana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dengan Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al Andalusy. Belajarlah engkau di negeri itu.”

Setelah selesai berpesan, sang ustadz menghembuskan nafas terakhir dengan berbekal Kalimat Indah: “Asyahadu an laa ilaaha illallaah, wa asyahadu anna Muhammadar Rasuulullaah.”
Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al Andalusy berpulang ke Rahmatullah menemui Rabbnya dengan tersenyum, setelah sekian lama berjihad dibumi yang fana ini.

****
Ahmad Izzah telah menjadi seorang alim di Mesir. Kemudian menyeberang Samudra yang gelap dan berkabut, bermukim di Dunia Baru. Seluruh hidupnya dibaktikan untuk agamanya –Islam-, sebagai ganti kekejaman dan kemungkaran yang di masa muda telah diperbuatnya.
Dekrit kedua Raja Spanyol Carlos V tahun 1543 yang berisikan perintah pengusiran Muslimin keluar dari jajahan Spanyol di seberang laut Atlantik, menyebabkan Ahmad Izzah dan seluruh pengikutnya berpindah ke Utara, di mana sebelumnya, yaitu sejak tahun-tahun 700-800 M, telah bermukim kaum Muslimin emigran gelombang pertama Pra-Columbus.
Menurut Dr. Barry Fell dari Harvard University bahwa di tempat itu telah bermukim kaum Muslimin, yang telah mendirikan sekolah-sekolah Islam di daerah yang sekarang dikenal dengan Valley of Fire, Allan Springs, Logomarsino, Keyhole, Canyon, Washoe dan Hickison Summit Pass (Nevada), Mesa Verde (Colorado), Mimbres Valley (New Mexico) dan Tipper Canoe (Indiana).

Wallahu a'lam bish shawab!!

Firman ALLAH Subhaanahu wa Ta’ala:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama ALLAH; (tetaplah atas)fitrah ALLAH yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah ALLAH. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Ruum [30]: 30)

****
Makassar, 6 & 13 Juni 2004
Posted by H. M. Nur Abdurrahman