“Tunjuki aku pada
jalan yang telah engkau tempuh Abi, tunjukkan aku pada jalan itu”
15 Februari 2011 pukul 23:56
Suatu sore, ditahun 1525...
Penjara terasa hening mencekam, penuh
berisi orang-orang yang menolak menjadiMorisko(1). Jendral Adolf Roberto, pemimpin penjara yang terkenal bengis,
tengah memeriksa setiap kamar tahanan.
Setiap pegawai penjara membungkukkan
badannya rendah-rendah ketika 'algojo penjara' itu berlalu di hadapan mereka.
Karena kalau tidak, sepatu lars milik tuan Roberto itu niscaya akan mendarat di
wajah mereka. Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar
seseorang mengumandangkan suara-suara yang amat ia benci.
“Hai, hentikan suara jelekmu! Hentikan!” teriak Roberto
sekeras-kerasnya sembari membelalakan mata.
Namun apa yang terjadi?
Laki-laki di kamar tahanan tadi tetap
saja bersenandung dengan khusyu'nya. Roberto bertambah berang. Algojo penjara
itu menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak lebih sekadar cukup untuk satu
orang. Dengan congkaknya ia menyemburkan ludahnya ke wajah renta sang tahanan
yang keriput hanya tinggal tulang. Tak puas sampai disitu, ia lalu menyulut
wajah badan orang tua renta itu dengan rokoknya yang menyala.
Sungguh ajaib, tak terdengar secuilpun
keluh kesakitan. Bibir yang pucat kering milik sang tahanan hanya mengeluarkan
kata: “Rabbi, wa ana
'abduka. Laa hawla walaa quwwata illaa billaah.” (Ya ALLAH, aku adalah hambamu. Tiada daya dan upaya [kuasa dan kekuatan] melainkan atas [kehendak] izin ALLAH).
Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban
itu serentak bertakbir sambil berkata, “Bersabarlah wahai
Ustadz, insya ALLAH tempatmu filjannah.”
Melihat kegigihan orang tua yang
dipanggil Ustadz oleh sesama tahanan, algojo penjara itu bertambah memuncak
amarahnya. Ia memerintahkan pegawai penjara untuk membuka sel, dan ditariknya
tubuh orang tua itu keras-keras hingga terjerembab di lantai.
“Hai orang tua busuk! Bukankah engkau tahu, aku tidak
suka bahasa jelekmu itu?!Aku tidak suka apa-apa yang berhubung
dengan agamamu! Kau telah membuat aku benci dan geram dengan 'suara-suara' yang seharusnya tak pernah terdengar lagi di
sini. Ketahuilah orang tua dungu, bumi Spanyol ini kini telah berada dalam kekuasaan Gereja Katolik
Roma. Sebagai balasannya engkau akan kubunuh.Kecuali, kalau engkau mau minta maaf dan menjadi
Morisko.”
Mendengar 'khutbah' itu, orang tua itu
mendongakkan kepala, menatap Roberto dengan tatapan tajam dan dingin.
Ia lalu berucap: “Sungguh, aku sangat merindukan kematian agar aku
segera dapat menjumpai kekasihku yang amat kucintai, ALLAH. Bila kini aku berada di puncak kebahagiaan
karena akan segera menemui-NYA, patutkah aku
berlutut kepadamu,hai manusia busuk? Jika aku turuti kemauanmu, tentu aku
termasuk manusia yang amat bodoh.”
Baru saja kata-kata itu terhenti, sepatu
lars Roberto sudah mendarat di wajahnya. Laki-laki itu terhuyung. Kemudian
jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah bersimbah darah. Ketika itu dari
saku baju penjaranya yang telah lusuh, meluncur sebuah 'buku kecil'. Adolf Roberto
bermaksud memungutnya. Namun tangan sang Ustadz telah terlebih dahulu mengambil
dan menggenggamnya erat-erat.
“Berikan buku itu, hai laki-laki dungu!” bentak Roberto.
“Haram bagi tanganmu
yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini!” ucap sang Ustadz
dengan tatapan menghina pada Roberto.
Tak ada jalan lain, akhirnya sepatu lars
Roberto yang berbobot 2 kilogram itu menginjak jari-jari tangan sang Ustadz
yang telah lemah. Suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati.
Roberto memungut buku kecil yang membuatnya penasaran. Perlahan Roberto membuka
sampul buku yang telah lusuh.
Mendadak algojo itu termenung.
“Ah, sepertinya aku pernah mengenal buku ini. Tetapi kapan? Ya, aku pernah mengenal buku ini,” suara hati Roberto bertanya-tanya.
Perlahan Roberto membuka lembaran
pertama itu. Pemuda berumur 30 tahun itu bertambah terkejut tatkala melihat
tulisan-tulisan 'aneh' dalam buku itu. Rasanya ia pernah
mengenal tulisan seperti itu dahulu. Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di
bumi Spanyol.
Akhirnya Roberto duduk disamping sang
Ustadz yang telah melepas nafas-nafas terakhirnya. Mata Roberto rapat terpejam.
Ia berusaha keras mengingat peristiwa yang dialaminya sewaktu masih
kanak-kanak. Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan
Roberto. Pemuda itu teringat ketika suatu sore di masa kanak-kanaknya terjadi
kericuhan besar di negeri tempat kelahirannya ini.
****
Sore itu ia melihat peristiwa yang
mengerikan di lapangan Inkuisisi(2).
Di tempat itu tengah berlangsung pesta
darah dan nyawa. Beribu-ribu jiwa tak berdosa berjatuhan di bumi Andalusia. Di
hujung kiri lapangan, beberapa puluh perempuam berhijab digantung pada
tiang-tiang kayu sula(3) yang terpancang tinggi. Tubuh mereka bergelantungan tertiup angin sore yang
kencang, membuat pakaian Muslimah yang dikenakan berkibar-kibar di udara.
Sementara, di tengah lapangan ratusan pemuda Islam dan Yahudi dibakar
hidup-hidup pada tiang-tiang kayu sula, hanya karena tidak mau memasuki agama yang dibawa oleh para rahib, tidak mau jadi Morisko dan Morrano.
Seorang bocah, mungil tampan berumur
sekitar 5 tahun, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yang telah
senyap. Korban-korban kebiadaban yang menolak menjadi Morisko itu telah syahid
semua. Bocah mungil itu mencucurkan air matanya menatap sang Ibu yang terkulai
lemah di tiang gantungan. Perlahan-lahan bocah itu mendekati tubuh sang Ummi
yang sudah syahidah.

Sang bocah berkata dengan suara parau, “Ummi, Ummi,mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah Ummi
telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa? Ummi, cepat pulang ke rumah, Ummi.”
Bocah kecil itu akhirnya menangis keras,
ketika sang Ummi tidak menjawab ucapannya. Ia semakin bingung dan takut, tak
tahu harus berbuat apa. Untuk pulang ke rumah pun ia tak tahu arah.
Akhirnya bocah itu berteriak memanggil
bapaknya, “Abi, Abi, Abi.....”
Namun ia segera terhenti berteriak
memanggil sang bapak ketika teringat kemarin petang bapaknya diseret dari rumah
oleh beberapa orang berseragam.
“Hai, siapa kamu?!” teriak segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati
sang bocah.
“Saya Ahmad
Izzah, sedang menunggu Ummi,” jawab sang bocah
memohon belas kasihan.
Tiba-tiba 'plak!', sebuah tamparan mendarat di pipi sang bocah.
“Hai bocah, wajahmu bagus tetapi namamu jelek. Aku benci namamu. Sekarang
kuganti namamu dengan nama yang bagus. Namamu
sekarang Adolf Roberto.Awas!! Jangan kau sebut lagi namamu yang jelek itu. Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh!” ancam laki-laki itu.
Sang bocah meringis ketakutan, masih
tetap meneteskan air mata. Bocah mungil itu hanya menurut ketika gerombolan itu
membawanya keluar lapangan Inkuisisi.
Akhirnya bocah tampan itu hidup bersama
mereka.
****
Roberto sadar dari renungannya yang
panjang. Pemuda itu melompat ke arah sang tahanan. Secepat kilat dirobeknya
baju penjara yang melekat pada tubuh sang Ustadz. Ia mencari-cari sesuatu di
pusar laki-laki itu.
Ketika ia menemukan sebuah 'tanda hitam', ia berteriak histeris.
“Abi, Abi, Abi.....!” Ia pun menangis keras, tak
ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu. Pikirannya terus bergelut dengan masa
lalunya.
Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil
yang ada di dalam genggamannya adalah Kitab Suci
Al-Qur’an milik ayahnya, yang dahulu sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak
menidurkannya. Ia juga ingat betul ayahnya mempunyai 'tanda hitam' pada
bahagian pusar.
Pemuda beringas itu terus meraung dan
memeluk erat tubuh tua renta yang lemah itu. Tampak sekali ada penyesalan yang
amat dalam atas ulahnya selama ini. Lidahnya yang sudah berpuluh-puluh tahun
alpa akan Islam.
Saat itu dengan spontan menyebut: “Abi, aku masih ingat alif, ba, ta, tsa,” hanya sebatas kata
itu yang masih terekam dalam kulit otaknya.
Sang Ustadz segera membuka mata ketika
merasakan ada tetesan hangat yang membasahi wajahnya. Dengan tatapan samar dia
masih dapat melihat seseorang yang tadi menyiksanya habis-habisan kini tengah
memeluknya.
“Tunjuki aku pada jalan
yang telah engkau tempuh Abi, tunjukkan aku
pada jalan itu,” terdengar suara Roberto memelas.
Sang Ustadz tengah mengatur nafas untuk
berkata-kata, ia lalu memejamkan matanya. Air matanya pun turut berlinang.
Betapa tidak, jika sekian puluh tahun kemudian, ternyata ia masih sempat
berjumpa dengan buah hatinya, ditempat ini. Sungguh tak masuk akal. Ini
semata-mata bukti kebesaran ALLAH Subhaanahu wa Ta’ala.
Sang Abi dengan susah payah masih bisa
berucap, “Anakku, pergilah
engkau ke Mesir.Disana banyak saudaramu. Katakan saja bahwa engkau kenal dengan Syaikh Abdullah
Fattah Ismail Al Andalusy. Belajarlah
engkau di negeri itu.”
Setelah selesai berpesan, sang ustadz
menghembuskan nafas terakhir dengan berbekal Kalimat Indah: “Asyahadu an laa ilaaha illallaah, wa asyahadu
anna Muhammadar Rasuulullaah.”
Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al Andalusy berpulang ke Rahmatullah menemui Rabbnya dengan tersenyum, setelah sekian
lama berjihad dibumi yang fana ini.
****
Ahmad Izzah telah menjadi seorang alim di Mesir.
Kemudian menyeberang Samudra yang gelap dan berkabut, bermukim di Dunia Baru.
Seluruh hidupnya dibaktikan untuk agamanya –Islam-, sebagai ganti kekejaman dan
kemungkaran yang di masa muda telah diperbuatnya.
Dekrit kedua Raja Spanyol Carlos V tahun
1543 yang berisikan perintah pengusiran Muslimin keluar dari jajahan Spanyol di
seberang laut Atlantik, menyebabkan Ahmad Izzah dan seluruh pengikutnya
berpindah ke Utara, di mana sebelumnya, yaitu sejak tahun-tahun 700-800 M,
telah bermukim kaum Muslimin emigran gelombang pertama Pra-Columbus.
Menurut Dr. Barry Fell dari Harvard
University bahwa di tempat itu telah bermukim kaum Muslimin, yang telah
mendirikan sekolah-sekolah Islam di daerah yang sekarang dikenal dengan Valley
of Fire, Allan Springs, Logomarsino, Keyhole, Canyon, Washoe dan Hickison
Summit Pass (Nevada), Mesa Verde (Colorado), Mimbres Valley (New Mexico) dan
Tipper Canoe (Indiana).
Wallahu a'lam bish shawab!!
Firman ALLAH Subhaanahu wa Ta’ala:
“Maka hadapkanlah
wajahmu dengan lurus kepada agama ALLAH; (tetaplah atas)fitrah ALLAH yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah
ALLAH. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Ruum [30]:
30)
****
Makassar, 6 & 13 Juni 2004
Posted by H. M. Nur
Abdurrahman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar